Kali ini redaksi akan menampilkan tulisan Saudara Emirul Chaq Aka, aktif di Lembaga Kajian Seni Budaya (Laksda) Pekalongan yang dimuat di harian Suara Merdeka tanggal 21 April 2007. Semoga dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua. Selamat menyimak....
Tanggal 25 Agustus 1622 M, yang “telah terlanjur” ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Pekalongan, ternyata memendam sekian kontroversi yang tak dapat dijinakkan, khususnya di kalangan pemerhati sejarah dan kebudayaan. Bahkan, dalam berbagai forum diskusi, kerap dilontarkan kritik sejarah yang cukup tajam, berkaitan dengan hari jadi tersebut.Salah satu yang jadi sorotan ialah soal filosofi dasar yang melatari hari jadi tersebut. Karena berdasarkan fakta sejarah, 25 Agustus 1622 M sesungguhnya tidak memiliki momentum historis yang cukup representatif untuk ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Pekalongan. Jadi, tidak mengandung peristiwa yang cukup bermakna yang layak diperingati setiap tahunnya oleh warga Pekalongan.Lantas, apa sebenarnya filosofi dasar yang melatarbelakangi penetapan 25 Agustus 1622 M sebagai Hari Jadi Kabupaten Pekalongan ? Benarkah tanggal, bulan dan tahun tersebut tidak memiliki momentum bersejarah bagi warga Pekalongan?Untuk itulah, kajian ini berupaya memaparkan secara sekilas status Pekalongan sekitar 1622 M, serta mencoba menjawab pertanyaan tersebut.Seluruh paparan di bawah ini merupakan hasil rekronstruksi fakta-fakta lepas yang tersebar dalam berbagai buku sejarah, khususnya dalam karya-karya Dr. HJ de Graaf tentang sejarah raja-raja Jawa – Mataram.Dua BersaudaraDr. HJ de Graaf, sejarawan kawakan dari Belanda, pernah bekerja dan menetap di Indonesia selama bertahun-tahun, telah menulis berbagai buku sejarah jawa. Diantaranya, lima jilid mengenai sejarah kerajaan-kerajaan Islam Jawa dan Mataram dengan judul yang berbeda-beda.Dalam menganalisis data-data, de Graaf selalu membandingkan antara sumber-sumber asli pribumi dan sumber-sumber asing. Dari karya-karya tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa wilayah Pekalongan bagian selatan (kabupaten), antara 1622 – 1623 M berada di bawah kekuasaan dua bersaudara Patih Dalem Kerajaan Mataram, yaitu Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa (Puncak Kekuasaan Mataram: 123).Keduanya merupakan cucu Pangeran Mandaraka yang dikenal sebagai paman dan penasehat Penembahan Senapati (1588 – 1601), pendiri Kerajaan Mataram, kakek Sultan Agung. Para penguasa Pekalongan itu tidak pernah berdiam di Pekalongan. Kiai Adipati Mandurareja tinggal di Kutha Dalem (Kota Mataram, sekarang Kotagede), sedangkan Kiai Adipati Upa Santa tinggal di Kutha Jaba yang kemudian bernama Yogyakarta (Awal Kebangkitan Mataram 117 – 119). Jadi, mereka bukanlah bupati-bupati Pekalongan. Lagi pula, selain Pekalongan, Kiai Mandurareja juga mempunyai kekuasaan di beberapa daerah pedalaman, misalnya di sebelah selatan Selimbi. Pada masa kejayaan Mataram, Sultan Agung biasa memberikan daerah-daerah tertentu di bawah penguasaan pembesar-pembesar istana yang mempunyai hubungan pribadi dengannya. Tetapi daerah-daerah tersebut tidak pernah mereka diami. Pemerintahannya diwakilkan kepada seorang kiai lurah. Misalnya, seperti yang terdapat di wilayah Sumber dan Pemalang. Kedua wilayah itu oleh Sultan Agung diberikan kepada pamannya, Pangeran Purbaya, dan pengelolanya dijalankan oleh kiai lurah. Kemungkinan besar, pemerintah di Pekalongan pun dikelola dengan cara demikian. Ada sebuah fragmen penting yang menggambarkan status rakyat Pekalongan pada tahun tersebut. Pada 16 Juli 1622 M, seorang utusan Gubernur Jendral Jan Pietersz Coen, yakni Dr. Hendrick de Haen, sempat singgah di Pekalongan dalam rangka perundingan damai dengan pihak Mataram. Di Pekalongan, ia bersantap malam bersama Tumenggung Tegal seraya membicarakan status rakyat di beberapa daerah. De Haen lalu bertanya kepada Tumenggung Tegal, apakah status rakyat di daerah Kedu dan Bagelen sama dengan rakyat Pekalongan, yakni sebagai bidak-budak ? Tumenggung tegal menjelaskan, rakyat Kedu dan Bagelen merupakan “orang-orang merdeka”“Mereka bebas dari kerja paksa dan wajib militer, dan hanya berkewajiban membayar pajak tahunan, baik dalam bentuk hasil bumi maupun dalam bentuk harta. Adapun rakyat Pekalongan “semuanya budak Pengeran Mandurareja” (Puncak Kekuasan Mataram: 123 – 124). Masa Suram Dari rekonstruksi fakta-fakta itu, menjadi jelas, status rakyat Pekalongan pada 1622 M ialah sebagai “budak-budak” di bawah kekuasaan Kiai Adipati Mandurareja dan Kiai Adipati Upa Santa. Jadi, berbeda dari status rakyat Kedu dan Bagelen, yang merupakan “orang-orang merdeka”. Kedu dan Baegelen merupakan “wilayah perdikan” yang memiliki pemerintahan sendiri, sedangkan Pekalongan tidak. Kemungkinan besar, pemerintahannya diwakilkan kepada seorang kiai lurah, seperti halnya wilayah Pemalang. Dengan demikian, 1622 M merupakan masa suram bagi rakyat Pekalongan (kabupaten). Karenanya, layakkah 1622 M diperingati tiap tahun sebagai Hari Jadi Kabupaten Pekalongan ? Bukankah itu berarti memperingati hari-hari perbudakan sendiri ? Padahal daerah-daerah lain berlomba-lomba memperingati hari kemerdekaannya. Maka, sejarah Hari Jadi Kabupaten Pekalongan memang harus ditinjau kembali. Tentu saja dengan mempertimbangkan faktor momentum historis yang reprensentatif, yang layak diperingati setiap tahunnya. Juga harus melibatkan lebih banyak ahli untuk menelusurinya. Sebab, bukankah peringatan hari jadi dimaksudkan untuk menghidupkan kembali prestasi-prestasi masa silam ? Tujuannya, tak lain, agar masa silam kita dapat dijadikan sebagai kebanggaan bersama serta ilham segar bagi masa depan. Itulah, satu agenda yang harus segera dilunasi oleh Pemerintah Kabupaten Pekalongan. (Sumber Suara Merdeka tanggal 21 April 2007 dan ditulis oleh Emirul Chaq Aka, aktif di Lembaga Kajian Seni Budaya (Laksda) Pekalongan)
Kamis, 23 Agustus 2007
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar